Ramadhan, Gelagat Media Kembali Dipertanyakan Sejak awal perubahan arus multi media abad 21, kita melihat beragam mode komersialisasi...
Ramadhan,
Gelagat Media Kembali Dipertanyakan
Sejak
awal perubahan arus multi media abad 21, kita melihat beragam mode
komersialisasi media secara umum atau lebih layak disebut sebagai bisnis
pertunjukan. Hal tersebut semakin dibuktikan dengan merebaknya
tayangan-tayangan yang dianggap lebih menghibur (kalau boleh dipersepsikan
demikian) daripada mendidik. Mode kemersialisasi semacam inilah yang kerap kali
memberi dampak negatif terhadap perkembangan mental masyarakat Indonesia secara
umum. Benarkah?
Memang
pada mulanya media memiliki fungsi sebagai agent of change (bagi umat
Islam) dengan memasok informasi yang edukatif, mengisi kekosongan informasi
mengenai seluk beluk Islam, memberi makna publik (dalam hal ini umat Islam
sendiri) untuk mengerti keadaan sosial di sekitarnya, malah bergeser jauh menjadi
agent of destroyer meninggalkan setumpuk permasalahan baru yang harus
diselesaikan anggota MUI, Komisi Penyiaran Pertelevisian dan lainnya.
Wabah
Musiman
Ramadhan
sebagai bulan suci yang harusnya diwarnai dengan berbagai program evaluasi dan
peningkatan amal ibadah nyatanya telah menjadi pasar musiman untuk meraup
keuntungan bagi pemilik media.
Menjamurnya
berbagai kemasan program religi, sinetron dan acara reality show yang
nampak secara islami, kontras berbeda dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam
sendiri. Mulai dari acara komedi pengiring berbuka sampai sahur yang dibalut
dengan tampilan hedonisme dan euphoria tanpa memperhatikan etika dasar Islam,
semisal masalah percampuran laki-laki dan perempuan. Ataupun acara gosip
selebriti sebagai bentuk intervensi privasi seseorang, atau ghibah masal.
Jelas, pesan yang akan disampaikan oleh program semacam ini menjadi bias dan
cenderung subjektif dengan campur tangan dan monopoli kaum pemodal.
Itulah
realita yang ingin disampaikan media bahwa karakter umat Islam saat ini tak
ubahnya sebuah kemasan usang tanpa integritas, mudah digiring dan dipropokasi
oleh sebuah trend, begitu bodoh hingga tak pernah merasa dibodohi. Lalu dengan
kenyataan demikian, bagaimana umat Islam memaknai Ramadhan sesungguhnya?
Entahlah,
pertanyaan seperti itu agaknya harus diperinci dengan pertanyaan lanjutan. Mau
dibawa ke mana media ini? dan untuk diisi dengan konten seperti apa? Dari
sinilah ukuran kecermatan umat Islam untuk peduli dengan nasib mereka.
Kepedulian untuk memaknai bulan Ramadhan dengan semestinya. Kita tak tahu
berapa lama lagi persoalan seperti ini akan berakhir, sebelum kemunculan
item-item hiburan religi yang lebih heboh. Bukan karena kualitas, namun karena
kuantitas rate and chart favorit semata.
Apakah media seperti di atas akan
berubah? Yang jelas keputusan akan datang dari pemilik media itu sendiri.
Tentu, dengan ekspresi positif umat Islam untuk memaknai Ramadhan dan
penyelamatan dari peloncohan mental. Pilihan untuk lebih cerdas mengkonsumsi
tontonan. Bukan hanya untuk saat ini. Tapi seterusnya, selama media dipenuhi
oleh sampah atau hal-hal tidak bermutu lainnya yang tidak mempunyai dampak
positif terhadap kepentingan publik, khususnya umat Islam sendiri sebagai
konsumen.
COMMENTS