Jika saat ini desa Ganjaran Gondanglegi Malang dipadati dengan masyarakatnya yang ramah, suara-suara merdu santri mengaji, pondok-pondok p...
Jika saat ini desa Ganjaran Gondanglegi Malang dipadati
dengan masyarakatnya yang ramah, suara-suara merdu santri mengaji,
pondok-pondok pesantren yang terlihat eksis mengkaji kitab kuning, maka suasana
tersebut tidak terlepas dari jasa sosok seorang Kiai yang Tawadhu, cinta
akan ilmu, sekaligus Mukasyif.
Sebuah bait di dalam kitab Sofwatus Zubad, dengan
redaksi:
والأولياء
ذوو كرامات رتب # و ما انتهولولد من غير أب
“Para wali
(orang-orang yang dicintai oleh Allah karena keta’atan mereka dan jauhnya
mereka dari perbuatan ma’siat) itu mempunyai Karomah (keistimewaan) yang
bertingkat, (tetapi setinggi apapun Karomah tersebut) tidak akan sampai pada
tingkatan (yang dapat) menjadikan anak tanpa ayah”
Seoran
wali Allah diberi keistimewaan yang bertingkat, salah satu dari keistimewaan
tersebut adalah Kasyaf (terbukanya hijab atau tabir
pemisah antara hamba dan Tuhan. Allah membukakan tabir bagi kekasih-Nya untuk
melihat, mendengar, merasakan, dan mengetahui hal-hal gaib).
Sepercik
kisah unik dari seorang Kiai yang berjasa besar bagi umat muslim dan desa
Ganjaran khususnya; kala itu Kiai Romli (Madura) ketika ia masih menjadi santri di
Ganjaran, Sang Kiai pernah menyuruhnya untuk meminta uang kepada Kepala Desa.
Sambil berjalan menuju gerbang pesantren sebelah selatan, santri gemuk ini
bergumam dalam hati, “Katanya uang negara haram. Tapi saya disuruh minta.”
Spontan Kiai memanggilnya, ”Heh, itu bukan uang negara. Itu uang tebuku yang
ada di bapak Kepala Desa !” hardik Kiai dengan keras.
Kiai dalam kisah Mukasyafah tersebut
merupakan pendiri Pondok Pesantren Raudhlatul Ulum, seorang ulama yang tawadhu,
cinta akan ilmu sekaligus gigih memperjuangkan Islam, beliau adalah KH Yahya
Syabrawi.
Enam kilometer sebelah barat dari kota
Sampang Madura, terdapat Perkampungan Tattat Sampang. Kampung inilah tempat
kelahiran KH Yahya Syabrawi. Beliau lahir pada tahun 1907 Masehi.
KH Yahya Syabrowi merupakan salah satu
cucu dari seorang yang Wara’ dikenal sebagai ’Adek’ dari kampung
Tattat Sampang. Ibu beliau (Nyai Latifah) adalah salah satu putri KH Ismail Ombul,
Sampang Madura, yang merupakan salah satu keturunan dari Syekh Sulaiman Mojo Agung,
pendiri pondok pesantren Sidogiri. Tidak heran jika KH Yahya Syabrowi memiliki
kepribadian yang Haibah (kewibawaan) dan Istiqomah dalam aplikasi
kehidupan beliau.
Pendidikan awal yang diserap oleh Kiai
Yahya Syabrowi adalah hasil dari didikan orang tuanya sendiri, KH Syabrowi.
Dari beliaulah Kiai Yahya menuntut dasar-dasar ilmu agama dan kehidupan. Setelah
menginjak dewasa beliau melanjutkan studinya kepada Kiai Makki Sampang selama
delapan tahun. Berkat prestasi dan kepandaian beliau, Kiai Yahya diperintahkan
membantu mengajar di pondok pesantren tersebut. Setelah itu pengembaraan ilmu
beliau dilanjutkan ke pondok pesantren Panji Sidoarjo yang diasuh oleh KH
Khozin. Sebagai Tafaulan terhadap guru, putra pertama beliau diberi nama
yang sama dengan gurunya, yaitu KH Khozin. Di pondok pesantren tersebut, beliau
juga mendapat kepercayaan mewakili Kiai untuk mengajarkan kitab kuning.
Setelah Nyantri kepada Kiai
Kholil Bangkalan dan mendapat Bisyaroh dari gurunya, KH Bukhori membatalkan niat
untuk berdakwah ke Jawa Tengah, melainkan pergi menuju malang untuk berdakwah.
Pada tahun 1937 sampailah beliau di desa Ganjaran bersama keponakannya, KH
Yahya Syabrowi. Sesampainya KH Yahya Syabrowi di Ganjaran, beliau dinikahkan
oleh KH Bukhori dengan putrinya sendiri. Namun setelah meniti hidup baru dengan
berkeluarga, kegigihan beliau dalam menuntut ilmu tidak luntur sedikitpun,
bahkan semakin bersemangat. Ini terbukti dengan seringnya mengikuti pengajian
kilatan di bulan puasa kepada gurunya di Sidoarjo.
Setelah kurang lebih sepuluh tahun bermukim
di desa Ganjaran, beliau mulai merintis madrasah Miftahussyibyan yang kini
berubah nama dan kita kenal sebagai Raudlatul Ulum pada tahun 1949 M. Perubahan
nama itu atas istikharah KH KhozinYahya, putra kiai Yahya Syabrawi sendiri.
Perintisan dan pembangunan pondok pesantren ini merupakan perintah dari paman
sekaligus mertua beliau sendiri, KH
Bukhori Ismail. dengan bantuan ulama
serta para tokoh masyarakat kala itu, di antaranya KH As’ad (pendiri pesantren
Miftahul Ulum), KH Qoffal Muhammad (mertua KH Qoffal Syabrawi), Hafidz
Abdurrozak (seorang alumni Gontor), Bapak Dumyati dari Jombang dan lainnya.
Sebagai Kiai karismatik, kontribusi beliau terhadap umat
sangat besar. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum salah satu bukti nyatanya.
Bermula dari pondok pesantren itu muncullah berbagai pondok pesantren di
sekitar Raudlatul Ulum, bahkan hingga kini tercatat 17 pondok pesantren di desa
Ganjaran. Selain pendidikan agama, lembaga formal demi mengimbangi perkembangan
zaman juga beliau dirikan di bawah naungan pesantren. Mulai dari MI, MTS, MA,
bahkan pada tahun 1985, Kiai Yahya berkerjasama dengan salah satu pendiri Unisma Malang, membuka
Fakultas Syari’ah Unisma di desa Putat Lor. Saat ini perguruan tinggi itu tetap
eksis dengan nama STAI Al-Qolam. Terlepas
dari dunia pendidikan, beliau juga berperan di bidang sosial kemasyarakatan,
hal ini terbukti dengan peran beliau sebagai salah satu penggagas Rumah Sakit
Islam Gondanglegi Malang.
Perjuangan mengemban estafet nabi
Muhammad saw. tidaklah mudah, butuh kesabaran ekstra yang harus ditanamkan
dalam diri sang Da’i. Asam garam perjuangan juga telah dirasakan oleh Kiai
Yahya Syabrowi dalam mengembangkan pondok pesantren yang didirikannya. Pada awalnya,
kegiatan pendidikan pondok pesantren Roudlatul Ulum dilaksanakan di rumah
penduduk dan rumah ibadah. Di antara
lokasi yang dijadikan tempat proses pembelajaran itu adalah rumah Nyai Zakariya
dan musholla KH Ahmad Hambali. Hingga pada akhirnya Kepala Desa Ganjaran saat
itu, H Abdurrahman ikut serta dalam membantu perjuangan Kiai dengan mengupayakan
tanah wakaf untuk lahan gedung madrasah.
KH Yahya Syabrowi sehari-harinya
mengajarkan kitab tafsir al-Jalalain, kitab hadits Riyadhussholihin
dan kitab nahwu-shorof Ibnu Aqiel dan rutin diulang tatkala sudah
khatam. Ketiga kitab klasik ini dibaca usai sholat Maghrib hingga menjelang
Isya’. Sehabis sholat
Dhuhur, beliau membaca al-Iqna’ dan ditambah kitab kecil lainnya dengan
metode sorogan.
Perhatian beliau terhadap santri tidak
hanya dalam kedisiplinan belaka, memang, setiap hari beliau sendiri yang
mengontrol para santi untuk melaksanakan kegiatan bahkan langsung terjun ke
kamar-kamar santri. Beliau lebih perhatian kepada santri dalam hal Birrul
Walidain, bahkan dimulai dari perkataan santri terhadap orang tuanya. Kiai Yahya
Syabrowi pernah berkata :”Tenimbeng tang santreh tak abesah ke oreng tuanah,
ango’ tak abesah ke sengko’ (ketimbang Santri saya tidak berbahasa halus
kepada orang tuanya, lebih baik tidak usah berbahasa halus kepada saya).”
KH Yahya Syabrowi dikaruniai 15 anak,
yang melanjutkan kepemimpinan beliau dalam mengasuh pondok pesantren setelah
beliau wafat adalah KH Khozin Yahya. Saat ini, setelah wafatnya KH Khozin Yahya
pada tahun 2000, pondok pesantren diasuh oleh adik dari KH Khozin Yahya yang
terkenal Tawadhu, beliau adalah KH Mukhlis Yahya.
Beliau
KH Yahya dikenal sebagai sosok kiai yang sangat istiqomah dalam menjaga
sholat berjamaah. Bahkan beliau akan mengajak sholat anak kecil sekalipun, jika
ketinggalan berjamaah. Terlebih lagi Istiqomah beliau dalam bangun malam,
sangat beliau perhatikan dalam kehidupan beliau. Konsep dalam kitab Bidayatul
Hidayah diterapkan dalam keseharian beliau, hal ini terbukti dengan tidak
terlepasnya beliau dari doa-doa. Mulai dari doa mau tidur, bangun tidur, masuk
kamar kecil, doa setelah wudlu’, hingga doa naik kendaraan beliau baca. Bahkan
jika turun hujan pertama dari musim kemarau, beliau mandi berhujan-hujan
sebagaimana disunnahkan.
Keistiqomahan yang beliau tekuni menjadi nilai lebih
bagi pribadinya sehingga mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah swt.
Sebagai Kiai yang Tawadhu dan Mukasyif. Sebuah kisah yang dialami oleh
Ustadz Isma’il Fathulloh (Boro), ustadz berperawakan kurus ini berniat membeli
tv untuk keluarganya. Sesampainya di gerbang timur pesantren, kiai Yahya
memanggil dan memegang pundaknya sambil berkata ;”Kalau mau jadi anakku, jangan
beli tv !” Padahal ia belum mengucapkan sepatah katapun.
Itulah kemuliaan yang diberikan bagi
makhluk-makhluk yang dicintai oleh Allah swt. KH Yahya Syabrowi menghembuskan
nafas terakhirnya di rumah sakit yang beliau rintis, Rumah Sakit Islam
Gondanglegi Malang. Pada tahun 1987.
COMMENTS